oleh Belva Charissa Putri — Sistem dan Teknologi Informasi ITB
Untuk UAS berada dibawah UTS ya
Aku Belva Charissa Putri, mahasiswa semester 2 Sistem dan Teknologi Informasi di ITB. Asli Bandung, dan (nggak kaget sih) suka banget sama hal-hal yang berbau teknologi 💻✨ Tapi di balik itu, aku juga suka mikirin hal-hal kecil tentang kehidupan dan cerita orang di sekitarku.
Lewat proyek dari Pak Armein ini, aku pengen bikin tempat kecil buat ngumpulin hasil belajar dan refleksi selama kuliah. Bukan cuma tugas formal, tapi juga catatan perjalanan dari yang serius sampai yang random tapi bermakna 😄
Selamat datang di sudut kecilku di GitHub! Semoga kamu betah keliling dan mungkin, nemu sedikit semangat dari ceritaku 🚀
"Serenata Jiwa Lara" by Diskoria feat. Dian Sastrowardoyo
Dari semua lagu yang pernah aku dengar, “Serenata Jiwa Lara” selalu punya kesan yang beda. Suaranya lembut, tapi liriknya dalam. Lagu ini ngingetin aku sama perasaan kehilangan dan rindu yang kadang nggak bisa dijelasin pakai kata-kata.
Bagian yang paling aku suka itu waktu liriknya bilang, “Serenata jiwa lara, rinduku padamu tak bertepi.” Kalimat itu sederhana, tapi punya makna besar. Tentang seseorang yang masih menyimpan rasa, tapi belajar buat menerima kenyataan.
Buat aku, lagu ini bukan cuma tentang sedih, tapi juga tentang proses. Tentang gimana kita belajar ikhlas, meskipun masih ada rasa yang belum selesai. Kadang, justru dari situ kita belajar mengenal diri sendiri lebih dalam.
Setiap kali aku denger lagu ini, rasanya tenang tapi juga jujur. Kayak diingatkan bahwa nggak semua hal harus disembuhkan, ada juga yang cukup diterima dengan hati terbuka.
Akhir-akhir ini aku mulai sadar kalau tumbuh itu bukan tentang seberapa cepat kita sampai di tujuan, tapi tentang gimana kita belajar berdamai sama diri sendiri di tengah perjalanan.
Kadang aku ngerasa harus selalu kuat, selalu produktif, selalu baik-baik aja, padahal nggak selalu bisa begitu. Ada hari di mana aku cuma pengen diam, rebahan, atau sekadar denger lagu tanpa mikir apa pun.
Dulu aku nganggep itu tanda lemah, tapi ternyata nggak. Itu cuma tanda kalau tubuh dan hati lagi minta istirahat. Sometimes, berhenti sebentar bukan berarti nyerah — tapi justru cara buat dengerin diri sendiri.
Sekarang aku mulai belajar buat nerima kalau hidup nggak harus selalu rapi. Kadang berantakan, kadang nggak sesuai rencana, dan itu nggak apa-apa. Karena dari situ, aku belajar sabar, ikhlas, dan ngerti kalau nggak semua hal harus sempurna buat tetap berarti.
Dan mungkin itu makna dewasa sebenarnya: bukan tentang tahu semua jawaban, tapi tentang gimana cara tetap tenang dan berdamai sama hal-hal kecil di sekitar kita 🌿
Peran Inti: Pemecah masalah teknis yang tetap fokus sama sisi manusianya teknologi.
Misi: Nyatuin logika dan empati biar bisa bikin solusi teknologi yang bener-bener kerasa manusiawi.
Aku pengen terus tumbuh di titik tengah antara logika dan empati bikin sesuatu yang berguna tapi juga punya makna. Buatku, teknologi itu bukan cuma soal canggih, tapi soal gimana kita bikin hidup orang jadi sedikit lebih mudah 💗
“Asik yah.” itu reaksi pertama waktu aku baca ulang semua hasil UTS-ku. Di sini aku pengen bahas refleksi singkat dari setiap tugas yang udah aku kerjain, biar bisa kelihatan gimana perjalananku sejauh ini 💕
✨ Nilai Rata-rata: 4.25 (A)
Tulisan ini paling awal dan paling “aku banget”. Isinya refleksi jujur tentang diri sendiri sederhana tapi hangat.
Katanya sih udah bagus secara orisinalitas, cuma bisa ditambah dikit lagi sisi emosionalnya biar lebih nyentuh.
🎵 Nilai Rata-rata: 4.00 (A)
Bagian ini isinya kayak puisi yang lahir dari pengalaman pribadi.
Pesannya dalem banget tentang terus berjalan meski goyah.
Katanya udah reflektif dan inspiratif, tapi masih bisa ditambah detail biar makin hidup.
🌷 Nilai Rata-rata: 5.00 (A+)
Ini katanya karya terbaik di antara semuanya!
Ceritanya ngalir, jujur, dan punya makna yang kuat tentang tanggung jawab dan semangat diri.
Mungkin karena ditulis dari pengalaman real banget, jadi energinya berasa sampai ke pembaca.
🧭 Nilai Rata-rata: 4.75 (A)
Bagian ini kayak hasil refleksi paling dalam bukan cuma mikir, tapi juga bikin arah.
Ada “Piagam Diri” dan “Kompas Keputusan” yang bikin aku sadar, ternyata refleksi bisa jadi rencana hidup juga.
Kalau mau lebih kuat lagi, tinggal tambahin bukti nyata dari pengalaman sehari-hari.
| UTS | Rata-rata | Tingkat |
|---|---|---|
| UTS-1 All About Me | 4.25 | A |
| UTS-2 My Song for You | 4.00 | A |
| UTS-3 My Stories for You | 5.00 | A+ |
| UTS-4 My SHAPE | 4.75 | A |
| Rata-rata Keseluruhan | 4.50 / 5.00 | A |
📊 Kamu juga bisa lihat hasil penilaian peer assessment lengkap di sini:
👉 Lihat Spreadsheet Penilaian Peer Assessment
Dari semua UTS ini, aku ngerasa banget perkembangan cara berpikir dan refleksi diri. Setiap tugas punya karakter sendiri dari yang ringan sampai yang bikin mikir dalem. Yang paling penting, semuanya berproses bikin aku lebih kenal diri dan ngerti makna “reflektif” itu apa.
“Menjadi reflektif bukan berarti berhenti, tapi melangkah dengan lebih sadar akan arah dan makna.” 🌸
Kemiskinan global adalah salah satu “masalah terbesar umat manusia” yang berakar bukan hanya pada kekurangan sumber daya, tetapi pada krisis koordinasi, ketimpangan informasi, dan keterbatasan kemampuan kolektif untuk bertindak secara selaras. Dengan sekitar 700 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem di bawah ambang USD 2,15 per hari permasalahan ini menyentuh kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan kualitas hidup keluarga di seluruh dunia.
“Hati” mewakili Axiological Intelligence (AQ) kesadaran moral dan nilai kemanusiaan yang mendorong solidaritas global. Kemiskinan bukan sekadar angka statistik, tapi penderitaan nyata: malnutrisi, pendidikan terbatas, dan hilangnya masa depan.
“Pikiran” adalah Synergistic Practical Intelligence (PI-A) kolaborasi manusia dan AI untuk merancang solusi. AI dapat memetakan kemiskinan secara presisi, mengidentifikasi wilayah paling rentan, dan membantu merancang kebijakan, tetapi tetap membutuhkan arah moral manusia.
“Tenaga” berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kehidupan: energi, materi, kreativitas, waktu, dan lingkungan. Solusi anti-kemiskinan harus membangun ekosistem berkelanjutan, bukan hanya bantuan uang sementara.
Mahakarya Kolektif untuk menghapus kemiskinan global adalah sistem TISE global yang menyinergikan Hati, Pikiran, dan Tenaga dari 8 miliar manusia. Dengan platform koordinasi ini, kita bisa menciptakan solusi yang komprehensif, adil, dan berkelanjutan.
Kemiskinan global merupakan salah satu tantangan kemanusiaan paling persisten di abad ke-21. Hingga saat ini, sekitar 700 juta orang atau hampir 8,5% populasi dunia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, bertahan dengan pendapatan di bawah USD 2,15 per hari. Kondisi ini bukan sekadar kekurangan materi, tetapi kegagalan sistemik dalam menyediakan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, pendidikan, perumahan, dan layanan kesehatan.
Namun, krisis kemiskinan global bukan hanya persoalan angka, melainkan krisis pendekatan. Selama beberapa dekade, strategi dominan dalam penanggulangan kemiskinan masih bertumpu pada model karitatif dan top-down: bantuan langsung, subsidi sementara, dan program jangka pendek yang berorientasi pada distribusi, bukan transformasi.
Pendekatan ini memiliki keterbatasan mendasar. Bantuan yang tidak disertai penguatan kapasitas sering kali hanya meredakan gejala, bukan akar masalah. Dalam banyak kasus, intervensi tersebut justru menciptakan ketergantungan struktural, melemahkan agensi individu miskin, dan gagal memutus lingkaran setan kemiskinan yang diwariskan lintas generasi.
Oleh karena itu, penanggulangan kemiskinan global perlu direkayasa ulang bukan sebagai upaya “menolong orang miskin”, melainkan sebagai proses memberdayakan manusia untuk menciptakan nilai bagi diri dan komunitasnya sendiri.
Kemiskinan sejatinya bukan sekadar ketiadaan uang, melainkan ketiadaan posisi dalam ekosistem penciptaan nilai. Individu yang hidup dalam kemiskinan sering kali terpinggirkan dari sistem ekonomi, pendidikan, teknologi, dan pasar tenaga kerja, sehingga energi manusia waktu, tenaga, pengetahuan, dan kreativitas tidak dapat dikonversi menjadi nilai ekonomi maupun sosial.
Dalam perspektif ini, kemiskinan adalah kegagalan ekosistem, bukan kegagalan individu. Maka, solusi yang berkelanjutan menuntut perubahan cara pandang: dari melihat masyarakat miskin sebagai penerima bantuan pasif, menjadi aktor ekonomi dan sosial aktif yang mampu berpartisipasi dalam ko-kreasi nilai.
Transformasi ini mensyaratkan penciptaan lingkungan yang memungkinkan individu miskin untuk:
Untuk mengatasi kemiskinan global secara berkelanjutan, diperlukan pendekatan yang berfokus pada penciptaan nilai (value creation), bukan sekadar redistribusi sumber daya. Pendekatan ini menempatkan manusia miskin sebagai protagonis dalam pembangunan, bukan objek kebijakan.
Langkah pertama adalah mengalihkan fokus dari bantuan konsumtif ke investasi kapasitas manusia. Pendidikan kontekstual, pelatihan keterampilan berbasis kebutuhan lokal, serta literasi keuangan dan digital memungkinkan individu miskin mengubah pengetahuan menjadi aset produktif.
Pengetahuan yang dimiliki bukan sekadar hafalan, melainkan alat untuk:
Kemiskinan hanya dapat dikurangi secara signifikan jika individu miskin terhubung ke pasar nilai— baik pasar tenaga kerja, pasar produk lokal, maupun ekonomi digital. Dalam ekosistem ini, kontribusi mereka diakui, dihargai, dan ditukar secara adil.
Alih-alih menjadi penerima bantuan, masyarakat miskin berperan sebagai:
Pendekatan ini mendorong keberlanjutan karena nilai yang diciptakan terus berputar dalam ekosistem ekonomi, bukan berhenti pada satu siklus bantuan.
Keberhasilan penanggulangan kemiskinan tidak cukup diukur melalui indikator pendapatan semata. Diperlukan pendekatan berbasis portofolio kesejahteraan, yang mencakup:
Pendekatan ini mengakui bahwa keluar dari kemiskinan adalah proses non-linear yang penuh perjuangan, kegagalan, dan pembelajaran— bukan lompatan instan akibat satu program bantuan.
Pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi global telah membuktikan bahwa kemajuan pengurangan kemiskinan dapat dengan mudah terbalik jika fondasinya rapuh. Oleh karena itu, pencapaian Sustainable Development Goal 1: No Poverty menuntut lebih dari sekadar niat baik melainkan rekayasa sistem sosial dan ekonomi yang berpusat pada manusia.
Mengakhiri kemiskinan global bukan soal seberapa banyak bantuan yang diberikan, melainkan seberapa besar nilai yang dapat diciptakan bersama. Ketika manusia diberi ruang untuk berdaya, berkontribusi, dan menulis narasi hidupnya sendiri, kemiskinan tidak hanya dikurangi— tetapi ditinggalkan secara permanen.
Kemiskinan global adalah salah satu “masalah terbesar umat manusia” yang berakar bukan hanya pada kekurangan sumber daya, tetapi pada krisis koordinasi, ketimpangan informasi, dan keterbatasan kemampuan kolektif untuk bertindak secara selaras. Dengan sekitar 700 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem di bawah ambang USD 2,15 per hari permasalahan ini menyentuh kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan kualitas hidup keluarga di seluruh dunia.
Stasiun adalah titik-titik tempat nilai diciptakan, dipertukarkan, atau diubah. Dalam analoginya, “Stasiun A” adalah tempat ide awal muncul, dan “Stasiun B” adalah tempat produk akhir terbentuk. Setiap stasiun menjadi lokasi perubahan energi (misalnya: dari energi manusia → energi pengetahuan → energi produk).
Untuk bergerak dari satu stasiun ke stasiun berikutnya, stakeholder menggunakan “kendaraan” berupa Agen Pemecah Masalah. Agen ini bekerja menggunakan arsitektur kognitif PUDAL: - Perceive (Mengindra) - Understand (Memahami) - Decision (Pengambilan Keputusan) - Act (Tindakan) - Learning-evaluating (Belajar & Mengevaluasi) Agen PUDAL bukan robot fisik, melainkan mekanisme mental/komputasional yang membantu pemecahan masalah secara sistematis.
Pergerakan agen tidak acak. Ia mengikuti rute, yaitu Siklus Pemecahan Masalah 7 Langkah, meliputi: 1. Identifikasi Masalah 2. Trigger/Pemicu 3. Kejadian (Event) 4. Membaca STATUS 5. Evaluasi 6. Adaptasi 7. Selesai / Lesson Learned Siklus ini menjadi “jalan” yang memandu agen dalam mengambil langkah-langkah yang tepat dari awal hingga penyelesaian masalah.
TISE 2.0 adalah arsitektur menyeluruh (full-stack) untuk mendukung pemecahan masalah dan pemberdayaan stakeholder. Alurnya adalah: → Riset PSKVE (bahan bakar) → CORE Engine (mesin pengubah energi) → Agen PUDAL (kendaraan yang menjalankan tugas) → Siklus 7-Langkah (rute perjalanan) → Stasiun A-B (tujuan/nilai) → Teater Kerja TISE 2.0 (lingkungan tempat semuanya terjadi) Dengan struktur ini, TISE 2.0 memungkinkan proses pemecahan masalah yang lebih adaptif, terarah, dan memberdayakan. kita bisa menciptakan solusi yang komprehensif, adil, dan berkelanjutan.
Valorise for Global Poverty
Untuk menangani kemiskinan global yang bersifat kompleks, multidimensi, dan lintas sistem, pendekatan kebijakan konvensional tidak lagi memadai. Oleh karena itu, saya memandang bahwa prinsip VALORISE sebagai metodologi berbasis TISE dapat digunakan untuk menyelesaikan apa yang dapat disebut sebagai Paradoks Penanggulangan Kemiskinan Global.
Paradoks tersebut adalah sebagai berikut:
Bagaimana dunia dapat menggunakan alat-alat pemberdayaan yang sangat kuat (bantuan internasional, teknologi, AI, dan sistem ekonomi global) tanpa justru melemahkan pemberdayaan manusia miskin itu sendiri (agensi, kemandirian, dan self-authorship)?
Ketika solusi kemiskinan hanya berbentuk bantuan langsung dan intervensi top-down, sistem global memang tampak “efisien”, tetapi masyarakat miskin tidak menjadi lebih berdaya. Dalam kondisi ini, sistem menjadi lebih kuat, tetapi manusia tetap terperangkap dalam ketergantungan. Inilah kegagalan pembangunan yang bersifat struktural.
Pendekatan VALORISE menawarkan jalan keluar melalui dua komponen utama: rekayasa struktur solusi dan desain agen pemberdayaan manusia.
Penanggulangan kemiskinan tidak boleh dimulai dari proyek atau bantuan, tetapi dari pemahaman prinsip dasar. Pada lapisan Fundamental dan Teknologi, VALORISE menuntut pemahaman mendalam tentang:
Tanpa peta pengetahuan ini, intervensi terhadap kemiskinan hanya akan bersifat reaktif dan sementara.
Pada lapisan ini, pengetahuan dasar diterjemahkan menjadi sistem nyata yang mampu menciptakan nilai berkelanjutan. Contohnya:
Masyarakat miskin tidak diposisikan sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai aktor utama dalam sistem yang mereka bangun dan kelola.
Penanggulangan kemiskinan tidak bersifat linear. Oleh karena itu, pendekatan W-Model menjadi relevan. Proses dimulai dari masalah nyata di lapisan aplikasi (A), turun ke riset prinsip di lapisan fundamental (F), lalu naik kembali melalui teknologi (T) dan sistem (S) untuk menghasilkan solusi aplikatif yang tervalidasi.
Validasi dilakukan melalui PICOC Berlapis, dengan membangun rantai bukti pada setiap lapisan:
Pendekatan ini memastikan bahwa solusi kemiskinan tidak hanya “berniat baik”, tetapi juga terbukti berdampak.
Inti dari VALORISE dalam konteks kemiskinan global adalah pemihakan radikal pada pemberdayaan manusia. Sistem bantuan, teknologi, dan kebijakan harus dirancang dengan prinsip anti-dependency constraint.
Artinya, sistem global dilarang mengambil alih agensi manusia miskin, meskipun hal tersebut terlihat lebih cepat dan efisien. Sebaliknya, sistem diwajibkan memfasilitasi proses pembelajaran, pengambilan keputusan, dan kepemilikan solusi oleh komunitas itu sendiri.
Alih-alih bertanya, “Apa bantuan yang harus kita berikan?”, pendekatan VALORISE mendorong pertanyaan reflektif:
“Kapasitas apa yang dapat dibangun agar komunitas ini mampu menulis masa depannya sendiri?”
Dengan demikian, VALORISE tidak menggunakan teknologi dan sistem global untuk menggantikan peran manusia, tetapi untuk memprovokasi agensi, martabat, dan penalaran otobiografis masyarakat miskin.
Melalui pendekatan ini, kemiskinan tidak dipandang sebagai kegagalan individu, melainkan sebagai kegagalan desain sistem. VALORISE menawarkan kerangka untuk merancang ulang sistem tersebut dari yang bersifat karitatif menjadi sistem penciptaan nilai yang berkelanjutan.
Di era AI dan globalisasi, pemihakan pada pemberdayaan manusia bukanlah pilihan moral semata, melainkan keharusan sistemik. Tanpa itu, dunia mungkin menjadi lebih canggih, tetapi kemiskinan akan tetap diwariskan. Dengan itu, kemiskinan memiliki peluang nyata untuk ditinggalkan secara permanen.
Berikut adalah penilaian AI terhadap repository yang sudah saya kembangkan.
| Kriteria | Nilai | Alasan |
|---|---|---|
| Kesegaran | 4 – Baik | Cerita ini mengangkat tema yang sudah sering dibahas, yaitu hubungan antara guru dan murid. Namun, penulis berhasil mengemasnya secara segar dengan karakter yang kompleks serta alur cerita yang penuh emosi. |
| Keterlibatan | 5 – Sangat Baik | Cerita mampu membuat pembaca terpaku dari awal hingga akhir melalui dialog yang efektif, penggambaran relasi antarkarakter yang kuat, serta momen emosional yang menyentuh. |
| Humor | 3 – Satisfactory | Humor tidak menjadi elemen utama, namun terdapat beberapa momen ringan yang membantu menyeimbangkan suasana dan menjaga alur tetap hidup. |
| Inspirasi | 5 – Sangat Baik | Cerita memberikan pesan moral yang kuat tentang kasih sayang, pengertian, dan ketekunan, serta mampu memotivasi pembaca untuk menjadi pribadi yang lebih peduli terhadap sesama. |
| Kriteria | Nilai | Alasan |
|---|---|---|
| Clarity | 4 – Good | Konsep VALORISE disampaikan secara jelas dan terstruktur, terutama dalam menjelaskan paradoks penanggulangan kemiskinan dan pentingnya pemberdayaan manusia. Beberapa istilah konseptual masih memerlukan pembacaan yang cermat bagi pembaca non-teknis. |
| Logic | 5 – Excellent | Alur penalaran sangat koheren, dimulai dari identifikasi masalah, perumusan paradoks, hingga solusi sistemik. Setiap bagian saling mendukung tanpa lompatan logika yang berarti. |
| Validity | 4 – Good | Argumen didukung oleh penalaran konseptual yang kuat dan relevan dengan realitas global. Validitas akan semakin meningkat dengan penambahan contoh empiris atau studi kasus konkret. |
| Usefulness | 5 – Excellent | Konsep memiliki kegunaan praktis tinggi sebagai kerangka perancangan kebijakan dan evaluasi program pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. |
| Kriteria | Nilai | Alasan |
|---|---|---|
| Compelling | 5 – Excellent | Opini langsung menarik perhatian dengan pernyataan masalah yang kuat dan relevan secara global, serta bahasa yang konsisten dan berdampak. |
| Informative | 5 – Excellent | Opini menyajikan informasi yang kaya, mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan global, serta memberikan wawasan analitis yang mendalam. |
| Persuasive | 4 – Good | Argumen disampaikan secara jelas dan logis, meskipun daya persuasi akan semakin kuat dengan dukungan data atau contoh konkret. |
| Engaging | 5 – Excellent | Tulisan mampu melibatkan pembaca secara emosional dan intelektual, mendorong refleksi kritis terhadap isu kemiskinan global. |